Sabtu, 14 November 2015

DINASTI UMAYYAH DAN KHALIFAH MUAWIYAH BIN ABU SUFYAN



Pendirian Dinasti Bani Umayyah
A.     Asal Mula Dinasti Bani Umayyah
Proses terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak khalifah Utsman bin Affan tewas terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin Sudan pada tahun 35 H/656 M. Pada saat itu khalifah Utsman bin Affan di anggap terlalu nepotisme (mementingkan kaum kerabatnya sendiri) dalam menunjuk para pembantu atau gubernur di wilayah kekuasaan Islam.
Masyarakat Madinah khususnya para shahabat besar seperti Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam mendatangi shahabat Ali bin Abi Thalib untuk memintanya menjadi khalifah pengganti Utsman bin Affan. Permintaan itu di pertimbangkan dengan masak dan pada akhirnya Ali bin Abi Thalib mau menerima tawaran tersebut. Pernyataan bersedia tersebut membuat para tokoh besar diatas merasa tenang, dan kemudian mereka dan para shahabat lainnya serta pendukung Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at) kepada Ali pada tanggal 17 Juni 656 M/18 Dzulhijah 35 H. Pembai’atan ini mengindikasikan pengakuan umat terhadap kepemimpinannya. Dengan kata lain, Ali bin Abi Thalib merupakan orang yang paling layak diangkat menjadi khalifah keempat menggantikan khalifah Utsman bin Affan.
Pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat oleh masyarakat madinah dan sekelompok masyarakat pendukung dari Kuffah, ternyata ditentang oleh sekelompok orang yang merasa dirugikan. Misalnya Muwiyah bin Abi Sufyan gubernur Damaskus, Syiria, dan Marwan bin Hakam yang ketika pada masa Utsman bin Affan, menjabat sebagai sekretaris khalifah.
Penolakan Muawiyah bin Abi Sufyan dan sekutunya terhadap Ali bin Abi Thalib menimbulkan konflik yang berkepanjangan antara kedua belah pihak yang berujung pada pertempuran di Shiffin dan dikenal dengan perang Sifin, Pertempuran ini terjadi di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan (sepupu dari Usman bin Affan) dan Ali bin Abi Talib di tebing Sungai Furat yang kini terletak di Syria (Syam) pada 1 Shafar tahun 37 H/657 M[1][2][3]. Muawiyah tidak menginginkan adanya pengangkatan kepemimpinan umat Islam yang baru.
Beberapa saat setelah kematian khalifah Utsman bin Affan, masyarakat muslim baik yang ada di Madinah , Kuffah, Bashrah dan Mesir telah mengangkat Ali bin Abi Thalib  sebagai khalifah pengganti Utsman. Kenyataan ini membuat Muawiyah harus bertindak, Muawiyah mengecam  agar tidak mengakui (bai’at) kekuasaan Ali bin Abi Thalib sebelum Ali berhasil mengungkapkan tragedi terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dan menyerahkan orang yang dicurigai terlibat pembunuhan  tersebut untuk dihukum. Khalifah Ali bin Abi Thalib berjanji akan menyelesaikan masalah pembunuhan itu setelah ia berhasil menyelesaikan situasi dan kondisi di dalam negeri.
Akibat dari penanganan kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, munculah isu bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib sengaja mengulur waktu karena punya kepentingan politis untuk mengeruk keuntungan dari krisis tersebut. Bahkan Muawiyah menuduh Ali bin Abi Thalib berada di balik kasus pembunuhan tersebut.
Tuduhan ini tentu saja tuduhan yang tidak benar, karena justru pada saat itu Sayidina Ali dan kedua putranya Hasan dan Husein serta para shahabat yang lain berusaha dengan sekuat tenaga untuk menjaga dan melindungi khalifah Utsman bin Affan dari serbuan massa yang mendatangi kediaman khalifah.
Ada beberapa gubernur yang diganti semasa kepemimpinan khalifah. Pendapat khalifah Ali bin Abi Thalib tentang pergantian dan pemecatan gubernur ini berdasarkan pengamatan bahwa segala kerusuhan dan kekacauan yang terjadi selama ini di sebabkan karena ulah Muawiyah dan gubernur-gubernur lainnya yang bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahannya.

B.     Usaha Untuk Memperoleh Kekuasaan
Wafatnya khalifah Ali bin Abi Thalib pada tanggal 21 Ramadhan tahun  40 H/661 M, karena terbunuh oleh tusukan pedang beracun saat sedang beribadah di masjid Kufah, oleh kelompok khawarij yaitu Abdurrahman bin Muljam, menimbulkan dampak politis yang cukup berat bagi kekuatan umat Islam khususnya para pengikut setia Ali (Syi’ah). Oleh karena itu, tidak lama berselang umat Islam dan para pengikut Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at) atas diri Hasan bin Ali untuk di angkat menjadi khalifah pengganti Ali bin Abi Thalib.
Proses penggugatan itu dilakukan dihadapan banyak orang. Mereka yang melakukan sumpah setia ini (bai’at) ada sekitar 40.000 orang jumlah yang tidak sedikit untuk ukuran pada saat itu. Orang yang pertama kali mengangkat sumpah setia adalah Qays bin Sa’ad, kemudian diikuti oleh umat Islam pendukung setia Ali bin Abi Thalib.
Pengangkatan Hasan bin Ali di hadapan orang banyak tersebut ternyata tetap saja tidak mendapat pengangkatan dari Muawiyah bin Abi Sufyan dan para pendukungnya. Dimana pada saat itu Muawiyyah yang menjabat sebagai gubernur Damaskus juga menobatkan dirinya sebagai khalifah. Hal ini disebabkan karena Muawiyah sendiri sudah sejak lama mempunyai ambisi untuk menduduki jabatan tertinggi dalam dunia Islam.
Namun Al-Hasan sosok yang jujur  dan lemah secara politik. Ia sama sekali tidak ambisius untuk menjadi pemimpin negara. Ia lebih memilih mementingkan persatuan umat. Hal ini dimanfaatkan oleh muawiyah untuk mempengaruhi massa untuk tidak melakukan bai’at terhadap hasan Bin ali. Sehingga banyak terjadi permasalahan politik, termasuk pemberontakan – pemberontakan yang didalangi oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Oleh karena itu, ia melakukan kesepakatan damai dengan kelompok Muawiyah dan menyerahkan kekuasaannya kepada Muawiyah pada bulan Rabiul Awwal tahun 41 H/661. Tahun kesepakatan damai antara Hasan dan Muawiyah disebut Aam Jama’ah karena kaum muslimn sepakat untuk memilih satu pemimpin saja, yaitu Muawiyah ibn Abu Sufyan.
Menghadapi situasi yang demikian kacau dan untuk menyelesaikan persoalan tersebut, khalifah Hasan bin Ali tidak mempunyai pilihan lain kecuali perundingan dengan pihak Muawiyah. Untuk  itu maka di kirimkan surat melalui Amr bin Salmah Al-Arhabi yang berisi pesan perdamaian.
Dalam perundingan ini Hasan bin Ali mengajukan syarat bahwa dia bersedia menyerahkan kekuasaan pada Muawiyah dengan syarat antaralain:
1.      Muawiyah menyerahkan harat Baitulmal kepadanya untuk melunasi hutang-hutangnya kepada pihak lain.
2.      Muawiyah tak lagi melakukan cacian dan hinaan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib beserta keluarganya.
3.      Muawiyah menyerahkan pajak bumi dari Persia dan daerah dari Bijinad kepada Hasan setiap tahun.
4.      Setelah Muawiyah berkuasa nanti, maka masalah kepemimpinan (kekhalifahan) harus diserahkan kepada umat Islam untuk melakukan pemilihan kembali pemimpin umat Islam.
5.      Muawiyah tidak boleh menarik sesuatupun dari penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak. Karena hal itu telah menjadi kebijakan khalifah Ali bin Abi Thalib sebelumnya.
Untuk memenuhi semua persyaratan, Hasan bin Ali mengutus seorang shahabatnya bernama Abdullah bin Al-Harits bin Nauval untuk menyampaikan isi tuntutannya kepada Muawiyah. Sementara Muawiyah sendiri untuk menjawab dan mengabulkan semua syarat yang di ajukan oleh Hasan mengutus orang-orang kepercayaannya  seperti Abdullah bin Amir bin Habib bin Abdi Syama.
Setelah kesepakatan damai ini, Muawiyah mengirmkan sebuah surat dan kertas kosong yang dibubuhi tanda tanggannya untuk diisi oleh Hasan. Dalam surat itu ia menulis “Aku mengakui bahwa karena hubungan darah, Anda lebih berhak menduduki jabatan kholifah. Dan sekiranya aku yakin kemampuan Anda lebih besar untuk melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan, aku tidak akan ragu berikrar setia kepadamu.”
Itulah salah satu kehebatan Muawiyah dalam berdiplomasi. Tutur katanya begitu halus, hegemonik dan seolah-olah bijak. Surat ini salah satu bentuk diplomasinya untuk melegitimasi kekuasaanya dari tangan pemimpin sebelumnya.
Penyerahan kekuasaan pemerintahan Islam dari Hasan ke Muawiyah ini menjadi tonggak formal berdirinya kelahiran Dinasti Umayyah di bawah pimpinan khalifah pertama, Muawiyah ibn Abu Sufyan.Proses penyerahan dari Hasan bin Ali kepada Muawiyah bin Abi Sufyan dilakukan di suatu tempat yang bernama Maskin dengan ditandai pengangkatan sumpah setia. Dengan demikian, ia telah berhasil meraih cita-cita untuk menjadi seorang pemimpin umat Islam menggantikan posisi dari Hasan bin Ali sebagai khalifah.
Meskipun Muawiyah tidak mendapatkan pengakuan secara resmi dari warga kota Bashrah, usaha ini tidak henti-hentinya dilakukan oleh Muawiyah sampai akhirnya secara defacto dan dejure jabatan tertinggi umat Islam berada di tangan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Dengan demikian berdirilah dinasti baru yaitu Dinasti Bani Umayyah (661-750 M) yang mengubah gaya kepemimpinannya dengan cara meniru gaya kepemimpinan raja-raja Persia dan Romawi berupa peralihan kekuasaan kepada anak-anaknya secara turun temurun. Keadaan ini yang menandai berakhirnya sistem pemerintahan khalifah yang didasari asas “demokrasi” untuk menentukan pemimpin umat Islam yang menjadi pilihan mereka. Pada masa kekuasaan Bani umayyah ibukota Negara dipindahkan muawiyah dari Madinah ke Damaskus, tempat Ia berkuasa Sebagai gubernur Sebelumnya.
Namun perlawanan terhadap bani Umayyah tetap terjadi, perlawanan ini dimulai oleh Husein ibn Ali, Putra kedua Khalifah Ali bin Abi Thalib. Husein menolak melakukan bai’at kepada Yazid bin Muawiyah sebagai khalifah ketika yazid naik tahta. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Mekah ke Kufah atas permintaan golongan syi’ahyang ada di Irak. Umat Islam di daerah ini tidak mengakui Yazid. Mereka Mengangkat Husein sebagai Khalifah. Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah di dekat Kufah, tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipengal dan dikirim ke damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbela.

C.     Pola Pemerintahan Dinasti Bani Umayyah (Muawiyah bin Abi Sufyan)
Aku tidak akan menggunakan pedang ketika cukup mengunakan cambuk, dan tidak akan mengunakan cambuk jika cukup dengan lisan. Sekiranya ada ikatan setipis rambut sekalipun antara aku dan sahabatku, maka aku tidak akan membiarkannya lepas. Saat mereka menariknya dengan keras, aku akan melonggarkannya, dan ketika mereka mengendorkannya, aku akan menariknya dengan keras. (Muawiyah ibn Abi Sufyan).
Pernyataan di atas cukup mewakili sosok Muawiyah ibn Abi Sufyan. Ia cerdas dan cerdik. Ia seorang politisi ulung dan seorang negarawan yang mampu membangun  peradaban besar melalui politik kekuasaannya. Ia pendiri sebuah dinasti besar yang mampu bertahan selama hampir satu abad. Dia lah pendiri Dinasti Umayyah, seorang pemimpin yang paling berpengaruh pada abad ke 7 H.
Di tangannya, seni berpolitik mengalami kemajuan luar biasa melebihi tokoh-tokoh muslim lainnya. Baginya, politik adalah senjata maha dahsyat untuk mencapai ambisi kekuasaaanya. Ia wujudkan seni berpolitiknya dengan membangun Dinasti Umayyah.
Gaya dan corak kepemimpinan pemerintahan Bani Umayyah (41 H/661 M) berbeda dengan kepemimpinan masa-masa sebelumnya yaitu masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin dipilih secara demokratis dengan kepemimpinan kharismatik yang demokratis, sedangkan proses berdirinya pemerintahan Bani Umayyah tidak dilakukan berdasarkan menunjuk langsung oleh khalifah sebelumnya dengan cara mengangkat seorang putra mahkota yang menjadi khalifah berikutnya.
Muawiyah sendiri yang mempelopori proses dan sistem kerajaan dengan menunjuk Yazid sebagai putra mahkota yang akan menggantikan kedudukannya kelak. Penunjukan ini dilakukan Muawiyah atas saran Al-Mukhiran bin Sukan, agar terhindar dari pergolakan dan konflik politik  intern umat Islam seperti yang pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Sejak saat itu, sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah telah meninggalkan tradisi musyawarah untuk memilih pemimpin umat Islam. Untuk mendapatkan pengesahan, para penguasa Dinasti Bani Umayyah kemudian memerintahkan para pemuka agama untuk melakukan sumpah setia (bai’at) dihadapan sang khalifah. Padahal, sistem pengangkatan para penguasa seperti ini bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi dan ajaran permusyawaratan Islam yang dilakukan Khulafaur Rasyidin.
Selain terjadi perubahan dalm sistem pemerintahan, pada masa pemerintahan Bani Umayyah juga terdapat perubahan lain misalnya masalah Baitulmal. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, Baitulmal berfungsi sebagai harta kekayaan rakyat, dimana setiap warga Negara memiliki hak yang sama terhadap harta tersebut. Akan tetapi sejak pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan, Baitulmal beralih kedudukannya menjadi harta kekayaan keluarga raja seluruh penguasa Dinasti Bani Umayyah kecuali Umar bin Abdul Aziz (717-729 M). Berikut nama-nama ke 14 khalifah Dinasti Bani Umayyah yang berkuasa:
1.      Muawiyah bin Abi Sufyan (41-60 H/661-680 M)
2.      Yazid bin Muawiyah (60-64 M/680-683 M)
3.      Muawiyah bin Yazid (64-64 H/683-683 M)
4.      Marwan bin Hakam (64-65 H/683-685 M)
5.      Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/685-705 M)
6.      Walid bin Abdul Malik (86-96 H/705-715 M)
7.      Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H/715-717 M)
8.      Umar bin Abdul Aziz (99-101 H/717-720 M)
9.      Yazid bin Abdul Malik (101-105 H/720-724)
10.  Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M)
11.  Walid bin Yazid (125-126 H/743-744 M)
12.  Yazid bin Walid (126-127 H/744-745 M)
13.  Ibrahim bin Walid (127-127 H/745-745 M)
14.  Marwan bin Muhammad (127-132 H/745-750 M
Diantara kebijakan yang dilakukan oleh Muawiyah dalam masa pemerintahannya, adalah :
1.      Pembentukan Diwanul Hijabah, yaitu sebuah lembaga yang bertugas memberikan pengawalan kepada kholifah
2.      Pembentukan departemen pencatatan atau Diwanul Khatam, yaitu lembaga yang bertugas untuk mencatat semua peraturan yang dikeluarkan oleh kholifah di dalam berita acara pemerintahan
3.      Pembentukan Dinas pos atau Diwanul Barid,yaitu departemen pos dan transportasi, yang bertugas menjaga pos-pos perjalanan dan menyediakan kuda sebagai alat transportasi.
4.      Pembentukan Shohibul Kharraj (pemungut pajak).




Perang Siffin dan Peristiwa Tahkim Daumatul Jandal

Setelah perang Jamal selesai, khalifah Ali bin Abi Thalib membawa pasukannya menuju Kuffah, ia kemudian mengutus Jarir bin Abdullah al-Bajal untuk menemui Muawiyah. utusan tersebut ,menyampaikan pesan yang isinya agar muawiyah menjauhi Khalifah Ali.
  1.  Muawiyah menolak permintaan dengan memberi jawaban yaitu Muawiyah tidak akan memberikan baiat sebelum kematian utsman bin Affan diusut menurut hukum
  2. apabila Khalifah Ali tidak melakukan pengusutan terhadap pembunuhan Ustman, maka kelompok Muawiyah akan mengangkat senjata untuk melawan Ali bin Abi thalib.
mengetahui jawaban tersebut, Khalifah Ali kemudian mengerahkan pasukan untuk menyerang Muawiyah. pertempuran terjadi di Siffinpada tahun 657 M. karena terjadi di daerah Siffin, maka pertempuran yang berlangsung selama 40 hari tersebut dikenal dengan nama perang Siffin.
Disaat pasukan Khalifah Ali bin Abi Thalib diambang kemenangan, pembantu Umayah yang bernama Amr bin Ash memerintahkan  kepada anggota Pasukan Muawiyah untuk meangkat AL-Quran diujung tombaknya sebagai isyarat ajakan damai. ajakan damai dari kelompok Muawiyah tersebut diterima Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Peristiwa tersebut menimbulkan perpecahan dipihak khlaifah Ali bin Abi Thalib. terhadap 2 golongan dalam kubu Ali yang berbeda pandangan yaitu :
  1. golongan yang setuju mendukung keputusan Ali bin Abi Thalib disebut  golongan Syiah
  2. Golongan yang tidak setuju disebut golonga Khawarij
Setelah permintaan damai kelompok Muawiyah diterima Khalifah ALi, selanjutnya kedua belah pihak melanjutkan perundingan damai di Daumatul Jandal, kota kecil dekat terusan Suez di selatan Syiria. peristiwa ini dikenal dengan nama "Tahkim Daumatul jandal" dengan ketentuan sebagai berikut.
  1. Perundingan dilangsungkan di daumatul Jandal dan masing-masing pihak diwakili 100 orang
  2. dari pihak Ali diketuai Abu Musa al-Asy'ari sedangkan dari kubu Muawiyah bin Abu Sufyan diketuai oleh Amr bin Ash.
Hasil dari perundingan tersebut adalah
  1. Ustman bin Affan meninggal karena teraniaya dan yang berhak menuntut balas adalah Muawiyah
  2. Kedua belah pihak, yaitu Ali dan Muawiyah sepakat diturunkan jabatannya masing-masing dan kekhalifahan diserahkan kepada kaum muslimin untuk mencari penggantinya.
untuk melaksanakan ketetapan dari perundingan tersebut, Amr bin Ash meminta agar Abu Musa al-Asy'ari berbicara dahulu didepan umum untuk menyatakan penurunan Ali bin Abi Thalib dari jabatannya sebagai Khalifah. Alasan Amr mempersilakan Abu Musa untuk berbicara terlebih dahulu adalah untuk menghormati sahabat yang lebih tua dan sebagai sahabat yang jujur dan memegang janji.

BIology Photosyntesis

Lagi murojaah hafalan nih biology tentang Fotosintesis hehe, mau MIDTEST.. Prepare dlu yaa...
FOTOSINTESIS
Foto = Cahaya, Sintesis = buatan. terjadi di Kloroplas
rx : CO2 + H2O => C6H12O6 + O2 pembuatan glukosa dan oksigen dengan cahaya.
1) Percobaan Sachs
     u/ buktikan fotosintesis hasilkan amilum/ glukosa. contohnya daun yang ditutupi sedikit pelindung ditengah terus di bus dengan air selanjutnya di celupkan ke alkohol yang mendidih, diangkat dan ditetesi dengan iodin maka akan biru/kehitaman.
2) Ingenhousz
     untuk buktikan fotosintesis hasilkan oksigen. percobaan tanaman hydrilia dalam tabung.

Terbagi menjadi 2 :
  1. dependent reaction : dengan cahaya di tilakoid (1 keping) /grana (kumpulan keping tilakoid).
  2. independent reaction : tidak menggunakan cahaya di Stroma (cairan kloroplas) 


Rx
Tempat
Melibatkan
Proses
Hasil
Terang
Grana
Cahaya, klorofil, ADP, H2O, NADP
1.      Eksitasi e
2.      Transfer e (rx. Hill)
3.      Fotolisis
ATP, NADPH, O2





Gelap
Stroma
CO2, RuBP/RDP, NADPH, ATP
1.      Fiksasi
2.      Siklus Calvin
APG, ALPG, C6H12O6
 



Doa mohon tambah ilmu, rezeki dan kesehatan

Allahumma inni as aluka 'ilman nafian wa rizqon wasi'an wa syifa'an min kulli daa

Tugas "ISHIS" khalifah 2 n 3 dinasti umayah










KHALIFAH KE-2 DAN KE-3 DINASTI UMAYYAH
YAZID BIN MUAWIYAH
MUAWIYAH BIN YAZID
 



SMA GIBS LOGO 7 sayap copy.jpg



MARLINA
XII – SCIENCE G2
 

 

YAZID BIN MUAWIYAH (680-683M)

©      Profil Singkat

Yazid bin Muawiyah bin Abi Sufyan dilahirkan pada tanggal 23 Juli 645. Pada masa kekhalifahan ayahnya, beliau menjadi seorang pangglima yang cukup penting dan juga seorang pangglima angkatan laut. Diawal tahun 668, Khalifah Muawiyah mengirim pasukan dibawah pimpinan Yazid bin Muawiyah untuk melawan Kekaisaran Bizantium. Yazid mencapai Chalcedon dan mengambil alih kota penting Bizantium, Amorion. Meskipun kota tersebut direbut kembali, pasukan arab kemudian menyerang Chartago dan Sisilia pada tabun 669. Pada tahun 670, pasukan Arab mencapai Siprus dan mendirikan pertahanan disana untuk menyerang jantung Bizantium. Armada Yazid menaklukan Smyrna dan kota pesisisr lainnya pada tahun 672.

©      Menjadi Khalifah

Khalifah Muawiyah wafat pada tanggal 6 Mei 680.Jauh-jauh hari, sebelum wafatnya beliau menunjuk Yazid untuk menjadi Khalifah selanjutnya. Peristiwa ini ditentang sebagian sahabat, sehingga menimbulkan ketidak puasan.Di Mekah, Husain bin Ali mendapat banyak surat dari penduduk Kufa yang menyatakan kesetiaannya pada beliau dan meminta beliau ke Kufah untuk dibaiat menjadi Khalifah. Oleh karena itu Husain bin Ali mengirim keponakannya, Muslim bin Uqail bin Abi Thalib ke kufah dan mendapatkan baiat 30 ribu penduduk Kufah.Muslim bin Uqail pun menyampaikan berita ini ke Husain dan mengundangnya datang ke Kufah. Akan tetapi ternyata hal ini tak berlangsung lama.Begitu mendengar sikap penduduk Kufah, Khalifah Yazid marah besar.Ia memecat gubernur Kufah, Nu’man bin Basyri dan menggabungkan Kufah dengan Basrah dibawah kekuasaan Abdullab bin Ziyad dan memerintahkan menangkap Husain.Gubernur Abdullah bin Ziyad tiba di Kufah lebih dahulu dari Husain dan dengan mudah merebut dan menduduki Kufah. Para penduduknya berbalik membaiat kepada Yazid bin Muawiyah. Sementara Muslim bin Uqail ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.
Agaknya situasi ini tidak diketahui Husein.Ia tetap berangkat ke Kufah meskipun sebelumnya Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Zubayr mena-sehatkan agar jangan berkunjung ke sana. Ia pergi diiringi para sahabat, saudaranya dan keluarganya. Ketika mendekati perbatasan Irak, ia terkejut karena tidak menemukan penduduk Kufah seperti yang dijanjikan. Apalagi setelah mendengar berita kematian tragis utusannya.Oleh karena itu sebagian pengikutnya menyarankan agar kembali Ke Mekah. Tapi Husain bersikeras tetap pergi karena yakin penduduk Kufah akan tetap berpihak padanya. Tapi ia mengijinkan kepada pengikutnya untuk menentukan pilihan sendiri. Ikut atau pulang.Akhirnya sebagian pengikutnya pulang ke Mekah, sehingga tinggal 31 Orang penunggang kuda dan 40 pejalan kaki yang mengiringi Husein.

Rombongan kecil itu terus melakukan perjalanan. Di Sirrah, rombongan itu berpapasan dengan pasukan Alhur bin Yazid yang kaget melihat jumlah pasukan Husein yang kecil padahal menurut berita yang diterimanya berjumlah besar. Oleh karena itu ia mengambil posisi bertahan. Sementara Husein masih yakin, pasukan besar dihadapannya akan berbaiat kepadanya. Sempat terjadi negosiasi, tetapi menemui jalan buntu. Sementara itu sepucuk surat dari gubernur Abdullah bin Ziyad yang tidak mengetahui jumlah rombongan husein, memerintahkan untuk mendesak rombongan Husein. Pasukan kecil itu terus mundur dan terdesak sampai ke Karbalah. Gubernur Ziyad kemudian mengirimkan lagi 4 ribu pasukan dibawah pimpinan Umar bin Saad bin Abi Waqash. Dalam keterdesakannya, Husain menawarkan tiga pilihan, pertama memberikan kesempatan padanya untuk kembali ke Hejaj, kedua memberikan kesempatan untuk menemui Yazid dan ketiga, mengantarkannya ke daerah perbatasan kaum muslimin dan berdomisili disana dan diperlakukan sama dengan kaum muslimin lainnya. Umar bin Saad menyampaikan hal ini kepada Gubernur Abdullah bin Ziyad. Tapi sang gubernur murka dan mengirim pesan melalui Syammar bin Ziljausan bahwa pilihannya adalah memerangi Husein atau menyerahkan pimpinan pasukan kepada Syamar.Pangglima Saad merasa harga dirinya jatuh bila menyerahkan pimpinan kepada Syamar Oleh karena itu ia pun memerintahkan penyerangan. Seluruh pengikut Husein gugur.Hanya wanita dan anak-anak yang dibiarkan selamat.Husein sendiri terbunuh. Kepalanya dipenggal oleh Syamar bin Ziljausan. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 10 Muharam 61 H / 10 Oktober 680.

Kepala Husain dan keluarganya dibawa ke Kufah., yang kemudian dikirim ke Damaskus. Khalifah Yazid begitu melihat kepala Husein menagis sedih dan berkata, ‘Saya tak pernah memeintahan membunuhnya. Demi Allah bila saya berada di tempat itu, saya akan memberikan ampunan padanya.’Darah Husain yang tertumpah, melebihi darah ayahnya inilah menjadi cikal bakal pertumbuhan kaum Syiah, sehingga tanggal kematiannya, 10 Muharam , menjadi hari besar kaum Syiah. Sejak saat itu kedudukan imam yang diwariskan turun temurun kepada keturunan Ali menjadi salah satu dogma dalam ajaran syiah yang setara dengan kenabian Nabi Muhammad.Peristiwa Karbalah ini menggemparkan penduduk Hejaj.Sebagian penduduk Madinah melepaskan baiatnya kepada Yazid.Mantan Gubernur Hejaj, Marwan bin Hakam dan penggantinya Usman bin Muhammad terpaksa melarikan diri ke Damaskus. Abdullah bin Zubair dibaiat menjadi Khalifah. Saat itu ia mendapat dukungan dari Hejaj, Yaman dan Arabia selatan.

Walau demikian, karena keadaan masih kacau, Yazid bin Muawiyah tidak langsung menyerang Ibnu Zubair. Selama tiga tahun, dengan penuh semangat Ia mencoba melanjutkan kebijakan ayahandanya dan menggaji banyak orang yang membantunya. Ia memperkuat struktur administrasi khilafah dan memperbaiki pertahanan militer Suriah, basis kekuatan Bani Umayyah. Sistem keuangan diperbaiki.Ia mengurangi pajak beberapa kelompok Kristen dan menghapuskan konsesi pajak yang ditanggung orang-orang Samara sebagai hadiah untuk pertolongan yang telah disumbangkan di hari-hari awal penaklukan Arab. Ia juga membayar perhatian berarti pada pertanian dan memperbaiki sistem irigasi di oasis Damsyik. Baru pada tahun 683, Yazid mengirimkan pasukan ke Hejaz dibawah pimpinan Muslim bin Uqbah al Muri dengan jumlah 30 ribu pasukan kavaleri. Ketika tiba di Hurat, ia dihadang oleh pasukan Abdullah bin Hanzalahh, gubernur Madinah yang ditunjuk Abdullah bin Zubair. Pecahlah pertempuran dan pasukan Madinah kalah.Tercatat lebih dari 10 ribu orang gugur.Sebagian dari kaum Anshar dan Muhajirin. Sesuai perintah Yazid, Muslim bin Uqbah memperbolehkan tentaranya untuk melakukan apa saja di Madinah selama tiga hari. Setelah berhasil menaklukan warga Madinah, ia kemudian melanjutkannua ke Mekah, tapi ia keburu meninggal dalam perjalanan, sehingga jabatan pangglima diambil alih Husain bin Numair sesuai wasiat Yazid bin Muawiyah. Sesampainya di Mekah, Husain bin Numair langsung memblokade Mekah dengan ketat selama dua bulan. Blokade ini membuat Ibnu Zubair keteteran.Tetapi ketika blokade ini berlangsung, Yazid mendadak wafat sehingga pengepungan dihentikan dan diadakan gencatan senjata.Selama pengepungan bangunan Kabah rusak berat.Ia segera digantikan anaknya Muawiyah bin Yazid.
MUAWIYAH BIN YAZID

©      Profil Singkat
Muawiyah bin Yazid bin Muawiyah adalah seorang pemuda yang tampan.Dia disebut juga Abu Abdur Rahman,ada juga yang menyebutnya Abu Yaziddan Abu Laila.Beliau anak Yazid yang lemah dan sakit-sakitan,disamping itu dia adalah seorang ahli Kimia pada masa pemerintahan Kakeknya Muawiyah bin Abu Sufyan diantara murid beliau yang paling terkenal adalah Abu Musa Jabir ibn Hayyan.Muawiyah bin Yazid menjadi Khalifah atas dasar wasiat ayahnya pada bulan Rabiul Awal tahun 64 Hijriah atau berkenaan tahun 683 M.Dia adalah seorang pemuda yang shalih.Tatkala dia diangkat menjadi kholifah dia sedang menderita sakit.Sakitnya bertambah – tambah hingga akhirnya dia meninggal dunia.Dia bahkan tidak pernah keluar pintu sejak dia diangkat menjadi khalifah.Dia belum sempat melakukan apa-apa,dan belum pernah menjadi imam sholat untuk rakyatnya.Ada yang mengatakan bahwa masa kekhalifahannya sekitar 40 hari ada pula yang mengatakan dia menjadi khalifah selama 2 bulan,ada yang mengatakan juga 3 bulan.Wallahu a’lam bissowab.Saat meninggalnya dikatakan kepadanya “Tidakkah kau akan menentukan siapa yang aka menjadi penggantinmu”.Dia berkata“Saya belum pernah mencicipi kelezatan dan manisnya,lalu mengapa saya harus menanggung kegitarannya “.
©      Masa Pemerintahan Muawiyah bin Yazid
Disamping Muawiyah bin yazid ini menjadi khalifah atau naik tahta atas dasar ayahnya,Muawiyah bin yazid juga dipilih penduduk Syam untuk menjabat khalifah sesudah ayahnya Yazid meninggal.Ketika itu Muawiyah bin yazid baru berumur 23 tahun.Pemerintahan Muawiyah bin yazid sangat singkat sekali dibandingkan dengan ayahnya Yazid bin Muawiyah (60-64 H / 681-682 M) maupun kakeknya Muawiyah bin Abi Sufyan (41-60 H / 661-680 M). Kalau kita menarik benang merah bahwa Pada Masa khalifah Muawiyyah bin yazid,beliau dalam keadaan sakit dan sudah dihadapkan dengan peristiwa pemberontakan oleh Abdullah ibnu Zubair di Makkah.dan tidak ada perkembangan yang signifikan dalam masa itu,dibandingkan pada masa Muawiyah bin Abu sufyan yang memindahkan daulah umayah pindah ke Damaskus,dan mengembangkan ilmu pengetahuan.Dan pada masa Muawiyyah bin yazid juga tidak pernah menguasai daerah–daerah,dibandingkan dengan Muawiyah bin Abu Sufyan yang menguasai Andalus,Afrika Utara,Syam,Irak,Iran,Khurasan dan ke benteng Tiongkok. hanya saja pada pemerintahan Muawiyah bin yazid dititik beratkan pada pemeliharaan yang sudah di lakukan ayahnya maupun kakeknya. Diantaranya adalah :
1. Meletakkan dasar-dasar pemerintahan yang kuat di daerah Syam (Syria).
2. Menata administrasi pemerintahan dengan baik.
3. Membentuk angkatan bersenjata (militer).
4. Meningkatkan kesejahteraan rakyat.
5. Mendirikan percetakan uang,dan mendirikan pos surat.
6. Membuat anjungan di dalam masjid,yang berguna sebagai pengaman.
7. Mendirikan istana untuk khalifah.
Ada juga yang mengatakan bahwa dirinya atau jiwanya (Muawiyah bin Yazid) memberontak tidak dapat bertanggung jawab atas perubahan dan kerusakan yang ditinggalkan oleh ayahnya.
©      Khalifah Muawiyah bin yazid mengundurkan diri
Ketika Panglima Alhushain bin Al-namir dari Syria yang bertugas menaklukkan pasukan Abdullah bin Zubair di Makkah,menemukan jalan buntu.Karena tak mampu menembus pertahanan lawan dan mendengar berita wafatnya Khalifah Yazid bin Muawiyah,Alhushain menyerukan gencatan senjata. Abdullah bin Zubair tidak keberatan.Masa damai itu membuat kedua pasukan membaur satu sama lain,seolah tak terjadi permusuhan.Anggota pasukan dari Syria dengan bebas melaksanakan umrah,thawaf disekitar Ka’bah,dan sa’i antara Shafa dan Marwah.
Ketika thawaf itulah,Panglima Alhushain bin Alnamir berpapasan dengan Abdullah bin Zubair.Sambil memegang lengan Abdullah,Alhushain berbisik,“Apakah anda mau berangkat bersamaku ke Syria? Saya akan berupaya supaya orang banyak mengangkat anda sebagai khalifah.” Abdullah bin Zubair menarik lengannya seraya menjawab,“Bagiku tak ada pilihan lain kecuali perang.Bagi setiap satu korban di tanah Hijaz,harus ditebus dengan sepuluh korban di Syria."Panglimah Alhushain menjawab dengan kata-kata yang cukup terkenal dalam sejarah,“Bohong orang yang menganggap anda sebagai cendekiawan Arab.Saya bicara dengan berbisik,tetapi anda menjawab dengan berteriak.”
Tidak lama setelah itu, Alhushain dan pasukannya kembali ke Syria.Boleh jadi,tawarannya bukan basa-basi. Sebab,di Syria sendiri sedang terjadi kemelut yang cukup mengkhawatirkan.Sepeninggal Yazid bin Muawiyah,ditunjuklah putranya,Muawiyah bin Yazid sebagai khalifah yang kala itu berusia 23 tahun.Berbeda dengan ayahnya,Muawiyah bin Yazid lebih mengutamakan ibadah ketimbang urusan duniawi. Hari-harinya dipenuhi dengan keshalihan dan ketaatan.Jabatan sebagai khalifah bukanlah keinginannya,tetapi warisan dari sang ayah.Muawiyah bin Yazid bukanlah seorang negarawan,tetapi seorang ahli agama.Ia sendiri merasa tidak layak menduduki jabatan khilafah.Ia merasa tak sanggup menghadapi urusan pemerintahan dan kenegaraan.Apalagi sepeninggal ayahnya,Yazid bin Muawiyah,bumi Syria terus dilanda kemelut.Didukung lagi oleh pangaruh Abdullah bin Zubair di tanah Hijaz yang semakin meluas.
Dengan segala pertimbangan itu,akhirnya khalifah ketiga Bani Umayyah ini menyatakan mundur dari jabatan khalifah setelah hanya kurang lebih tiga bulan memerintah dan .di hadapanpara tokoh istana,ia menyerahkan jabatannya.Para pemuka istana dan tokoh keluarga Bani Umayyah memintanya untuk menunjuk seorang pengganti.Namun,cucu pendiri Daulah Umayyah itu dengan tegas menjawab,“Aku bukan seperti Abu Bakar yang mampu menunjuk seorang pengganti.Aku belum menemukan seorang pun di antara kalian yang mempunyai keutamaan seperti Umar bin Al-Khathab.Aku juga bukan seperti Umar yang bisa menunjuk Ahli Syura.Kalian lebih tahu dan pilihlah orang yang kalian kehendaki.
Sejak saat itu,Muawiyah bin Yazid menyerahkan hidupnya hanya untuk beribadah dengan uzlah (mengasingkan diri).Menjelang pengujung tahun 64 H/684 Masehi,ia meninggal dunia dalam usia masih 23 tahun.Ada yang mengatakan kematiannya tidak wajar,ia dibunuh secara diam-diam.Sepeninggalanya,terjadi perpecahan di wilayah Syam (Syria dan Palestina).Satu pihak cenderung mengikuti pendirian penduduk Hijaz untuk mengangkat baiat atas Abdullah bin Zubair yang berkedudukan di Makkah.Apalagi penduduk wilayah Irak dan Iran telah menyatakan baiat.Abdullah bin Ziyad yang menjabat gubernur wilayah itu buru-buru melarikan diri keSyria untuk meminta perlindungan dari para tokoh Bani Umayyah.Dengan demikian,wilayah kekuasaan Abdullah bin Zubair sudah meliputi Hijaz,Yaman,Irak dan Iran.
Sebuah perutusan yang berangkat dari Mesir ke Makkah membawa berita bahwa penduduk bumi Piramid itu pun menyatakan dukungan atas Abdullah bin Zubair.Sementara itu,perpecahan di wilayah Syam semakin tajam.Pihak yang mendukung Abdullah bin Zubair dipimpin oleh Dhahak bin Qais.Sedangkan di belahan utara wilayah Syam,tepatnya di kota Hims dan Halab,gerakan pendukung Abdullah dipimpin Nu’man bin Basyir Al-Anshari.Gerakan ini semakin meluas sehingga hampir mampu menguasai istana yang sedang kritis.Oleh sebab itu,kalau Abdullah bin Zubair menerima tawaran Panglima Alhushain untuk berangkat ke Syria,tidak mustahil ia akan dibaiat oleh banyak orang.Apalagi dari sisi keturunan,ia termasuk keluarga dekat Rasulullah Saw.Namun sejarah tak menghendaki hal itu.Abdullah bin Zubair bersikeras menetap di wilayah Hijaz dengan segala dukungan penduduknya..Agaknya,apa yang menimpa Husain bin Ali bin Abi Thalib begitu membekas di benaknya
Muawiyah bin Yazid lebih mengutamakan ibadah ketimbang urusan duniawi. Hari-harinya dipenuhi dengan keshalihan dan ketaatan. Jabatan sebagai khalifah bukanlah keinginannya, tetapi warisan dari sang ayah. Muawiyah bin Yazid bukanlah seorang negarawan, tetapi seorang ahli agama. Ia sendiri merasa tidak layak menduduki jabatan khilafah. Ia merasa tak sanggup menghadapi urusan pemerintahan dan kenegaraan. Apalagi sepeninggal ayahnya, Yazid bin Muawiyah, bumi Syria terus dilanda kemelut. Didukung lagi oleh pangaruh Abdullah bin Zubair di tanah Hijaz yang semakin meluas. Dengan segala pertimbangan itu, akhirnya khalifah ketiga Bani Umayyah ini menyatakan mundur dari jabatan khalifah setelah hanya tiga bulan memerintah. Di hadapan para tokoh istana, ia menyerahkan jabatannya. Para pemuka istana dan tokoh keluarga Bani Umayyah memintanya untuk menunjuk seorang pengganti.
Namun, cucu pendiri Daulah Umayyah itu dengan tegas menjawab, “Aku bukan seperti Abu Bakar yang mampu menunjuk seorang pengganti. Aku belum menemukan seorang pun di antara kalian yang mempunyai keutamaan seperti Umar bin Al-Khathab. Aku juga bukan seperti Umar yang bisa menunjuk Ahli Syura. Kalian lebih tahu dan pilihlah orang yang kalian kehendaki.” Sejak saat itu, Muawiyah bin Yazid menyerahkan hidupnya hanya untuk beribadah dengan uzlah (mengasingkan diri). Menjelang pengujung tahun 64 H/684 Masehi, ia meninggal dunia dalam usia masih belia, 23 tahun. Ada yang mengatakan kematiannya tidak wajar, ia dibunuh secara diam-diam.